kenapa orang
hebat dan zuhud seperti Al Hallaj harus tewas di tangan penguasa Islam?
Bukankah Al Hallaj, adalah dia yang rindu akan perjumpaan dengan Tuhan sehingga
ungkapan kerinduan itu tidak bisa dibenar salahkan? Sebagaimana orang yang
jatuh cinta kemudian menulis puisi? Inilah sedikit pernyataan-Pernyataan
Al-Hallaj :
Allah
menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia
menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab
hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku,
Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu
bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan
yang lain.
Siapa yang
mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang
mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma
Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran
adalah hakikat.
Bisikan
Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu ketika
Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju
kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama sekali
tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat
Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih
melihat individu-individu lainnya.
Siapa yang
dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan
Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh
cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan
itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa yang
menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan
cahaya bintang gemintang.
Ketika Allah
mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu
tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka,
hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya
Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah
Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan
Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak
dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat,
tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus
dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi
kesenjangan.
Akulah
Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi
perbedaan.
Ketika
ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha
Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu,
dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.
SEJARAHNYA
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah
pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu,
tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan
fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum
Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok
yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak
misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama
lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits,
berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan
Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid
al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan
guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima
oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah
Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan
membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya
sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar,
“Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”
Pada akhir
hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di
dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada
perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj,
berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu
Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam
Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang
Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi
Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said
Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham
tentang pandangan Al-Hallaj.”
Pandangan
Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal
halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj,
karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya
yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti,
“Akulah Allah”.
Tentu,
pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami
secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog,
khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga
mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud
atau pantheisme.
Padahal
dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang
menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq).
Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara
filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah
Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah
penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra
Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat
hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Sebagaimana
Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan
isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat
bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula.
Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya
ada tiga kelomp0k besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap
pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan
mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung
menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam
bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:
Mereka yang
mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab
Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah
Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari
kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari
kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah
antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.
Sementara
itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny
(Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany
(Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara
lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir,
selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.
Mereka yang
mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary
dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy
(Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah).
Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan
Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.
Dari
kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi
antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy.
Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul
(Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari
kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy,
Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad
Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.
Kontroversi
Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat
rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka,
khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at,
lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal
hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.
Tudingan
bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami
wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi.
Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak
pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya
adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya
adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj
adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya
hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang
sedang terkejut dalam waktu yang lama.
Toh
Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’,
sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah
mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan
semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari
seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan
Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya: “Ketika mereka
hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama
dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan
kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul
Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu
kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu
tubuhnya dibakar dengan api.
Kepalanya
yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi,
sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj
mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong
kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi
orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara
dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia
membaca sebuah ayat, “
Sebelum
meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu
tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para
Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa
jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh
Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan
sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi
sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang
digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam,
puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati
baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah
dan benar.
Rasanya
Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf.
Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan
merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini
dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik,
siapa pun akan selalu gagal memahaminya.
Ada ungkapan
Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan
sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan
pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri.
Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah
rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan
lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan
antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati
tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah
kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar