Kamis, 07 Maret 2013

Arti Mimpi Ular, Binatang Berbisa Merayap



Ular

Bermimpi melihat ular dita'birkan dengan musuh yang menyembunyikan permusuhannya yang akan menyerang kepadanya menurut kadar besarnya dan keseramannya ketika dilihat dalam mimpinya.

Barang siapa yang bermimpi membunuh ular, menunjukkan ta'bir tentang perlawanan terhadap musuh. Lalu jika dia yang menang, maka ta'birnya dialah pula yang menang terhadap musuhnya.. Dan jika ularnya yang menang maka musuhnyalah yang menang di dalam pertengkarannya.

Bermimpi bahwa dia disengat oleh ular, maka dari musuhnya dia akan mendapatkan sesuatu yang dibenci di dalam hatinya dengan kadar sampai jauh mana rasa sakit dalam sengatannya itu.

Dan bermimpi membunuh ular, berarti menunjukkan ta'bir bahwa dia akan mendapat kemenangan dari musuhnya. Sedangkan bermimpi mengeratnya menjadi dua bagian, menunjukkan ta'bir bahwa dia mendapat fifty-fifty dari kemenangan musuhnya.

Jikalau dia bermimpi melihat ular mempunyai kaki penegak, maka sebagai ta'birnya menunjukkan isyarat, bahwa musuhnya mempunyai kekuatan yang kokoh.

Bermimpi bahwasanya dia merasa takut dengan ular, sedangkan dia tidak memandang kepadanya dengan matanya, mengandung maksud, bahwa dia akan menjadi aman dari serangan musuhnya. Dan apabila ular itu dipandang dengan matanya, maka dia akan merasa takut terhadap musuhnya, akan tetapi tidak mengakibatkan kerugian apapun terhadap dirinya.

Setiap mimpi yang merasa takut dengan tanpa melihat apa yang ditakutinya, ta'birnya dia merasa aman dari padanya. Dan jika dilihat dengan mata kepalanya, maka apa yang akan ditakutinya akan terjadi. Dan jika dia melihat ular memasuki rumahnya dan melihatnya berada di dalamnya, maka sebagai ta'birnya ialah : dia mempunyai musuh dari pihak-pihak orang-orang wanita atau pihak kerabatnya.

Dan apabila ular itu keluar dari rumahnya, maka pertanda bahwa dia mempunyai musuh yang berada di tempat yang jauh.

Bermimpi bahwasanya ada ular keluar dari lubang anusnya atau telinganya, atau perutnya, maka menunjukkan ta'bir bahwa sebagian dari keluarganya ada yang menjadi musuhnya dan dia akan keluar dari rumah itu.

Barang siapa yang bermimpi sesungguhnya dia memiliki ular dan tidak merasa khawatir dari padanya, maka mimpi yang semacam ini ta'birnya bukanlah musuh. Akan tetapi ta'birnya ialah : sesuatu hak milik dan kenikmatan yang akan dicapainya dengan kadar dari besar ular yang dilihat dalam mimpinya.

Lalu jika ular itu berwarna hitam, ta'birnya ialah : dia akan menjadi panglima kerajaan, dan apabila putih, ta'birnya ialah' sesuatu yang berkaitan dengan urusan kakeknya dan kebahagiaannya, dan manakala dia memiliki ular yang kecil, yang licin (mengkilat) dan tidak membahayakannya, maka ta 'birnya ialah : dia akan memiliki gedung harta benda (harta yang banyak).

Binatang kala

Musuh dan tipu daya yang tidak dilakukan dengan lidahnya. Dan dia mencerca musuh dan kawannya dengan lidahnya. Dia bukanlah orang yang beragama dan bukan pula orang yang penting (yang mempunyai pendapat).

Barang siapa yang bermimpi ada binatang kala yang menyengatnya, maka boleh dita'birkan sesungguhnya lawannya mengumpat dengan lidahnya dan mengucapkan sesuatu yang menjadikan benci dalam hatinya. Dan jika kala itu dibunuh, maka dia dapat memenangkan lawannya.

Jikalau bermimpi melihat binatang kala berada di tangannya, sedangkan kala itu menyengat manusia, maka ta'birnya ialah : dia menyakitkan hati manusia dengan lidahnya. Dan jikalau bermimpi dia memakan binatang kala, maka dia
akan mendapat harta dari lawannya.

Bermimpi bahwasanya binatang kala masuk ke dalam rongga badannya atau rumahnya, atau tilamnya, atau bajunya atau selimutnya maka kesemuanya itu mengandung ta'bir bahwa lawannya beserta dengannya membawa suatu ucapan dari padanya.

Ta 'bir-ta mimpi lainnya tentang sesuatu yang berkaitan dengan binatang kala, adalah berlaku sama dengan ta' bir mimpi yang telah diterangkan pada binatang ular.

Tabuhan

Menunjukkan ta'bir tentang suatu kekuatan yang lebih kokoh dari pada ta'bir tentang lalat yang akan diterangkan berikut ini.

Barang siapa yang bermimpi melihat tabuhan atau lalat berkelabangan (berterbangan) atasnya, maka mimpi itu menunjukkan ta'bir tentang suatu ucapan yang didengar dari orang-orang yang suka melakukan kegiatan dan orang-orang yang hina dari kaumnya.

Senin, 25 Februari 2013

WUJUD ALLAH MENURUT SEMBILAN WALI




Makrifatullah sebagai pengenalan tertinggi kawulo/hamba pada gusti telah dialami oleh para wali penyebar agama Islam di Nusantara. Mereka adalah suri tauladan pencapaian pendakian spiritual bagi kita, pencari jalan Ilahi. Apa dan bagaimana makrifat dari para wali  dan bagaimana wujud Tuhan yang sebenarnya?
Makrifat adalah sebuah situasi mental dan kondisi kejiwaan yang  dialami oleh siapapun yang menginginkan adanya perjumpaan dengan Tuhan Semesta Alam. Salah satu momen makrifat yang paling fenomenal dalam sejarah para nabi adalah apa yang dialami Nabi Musa As saat ekstase/ fana/jatuh tersungkur di bukit Sinai saat “menatap” wajah-Nya setelah gunung yang ada di depannya hancur karena tidak sanggup ditempati pancaran cahaya-Nya.
Makrifat bisa diraih dengan perjuangan dan laku yang berat.Dalam khasanah tasawuf, kita akan diajari bagaimana laku yang berat tersebut harus dijalankan untuk menyingkirkan dan menerobos hijab menuju langit. Hijab adalah tirai selubung penutup batin kita sehingga kita tidak mampu menggapai wujud-Nya.
Hijab di dalam perbendaharaan kaum sufi bisa dikategorikan menjadi sepuluh besar. Hijab ini berasal dari empat unsur, yaitu unsur jiwa, dunia, hawa nafsu, dan setan:
Hijab ta’thil, yaitu meniadakan asma’ dan sifat Allah.
Hijab berupa kemusyrikan, yaitu manembah kepada selain Allah.
Hijab bid’ah qauliyah yang tidak ada pijakannya dalam agama).
Hijab bid’ah ‘amaliah atau perbuatan yang menyimpang dari kebenaran iman dan ikhsan
Hijab batiniyah: takabur, ujub, riya, hasad, bangga diri, sombong dan iri dengki dan lain-lain.
Hijab lahiriyah: Perbuatan Ibadah yang tidak diniatkan untuk berjumpa dengan-Nya.
Hijab dosa kecil. Melakukan perbuatan dosa-dosa kecil namun banyak.
Hijab mubah. Melakukan perbuatan mubah namun tidak dianggap sebagai sebuah dosa.
Hijab lalai dari misi penciptaan dan iradat Allah.
Hijab penempuh jalan spiritual yang bersusah-payah, tetapi namun tidak sampai tujuan.
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-bena tehijab dari (melihat) Rabb mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka”(Al-Muthaffifin: 15-16)
Setelah semua hijab terbuka dan seseorang pejalan spiritual sudah sampai ke langit ketujuh di dalam diri sejatinya, maka seseorang akan kebingungan dan berada di alam “suwung”/ ora ono opo-opo. Semua pendamping kini telah meninggalkannya termasuk diri, malaikat dan para rasul. Dia kemudian dibimbing oleh Tuhan sendiri untuk berjumpa dengan  Dzat-Nya.
Apa yang terjadi sesudah kita bermakrifatullah? Tidak ada kata yang mampu menjelaskan situasi dan kondisi fana tersebut. Namun, kita bisa mendapatkan penjelasan dari para wali saat mengalami fana tersebut. Bagaimana wujud Allah SWT?
Sunan Kalijaga: “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”
Syekh Majagung: “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”
Syekh Maghribi: “Allah itu meliputi segala sesuatu.”
Syekh Bentong: “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”
Sunan Bonang: , “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”
Sunan Kudus: “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”
Syekh Siti Jenar: “Allah itu adalah keadaanku. Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah”
Sunan Gunung Jati:  “Allah itu adalah yang berwujud haq”

Minggu, 24 Februari 2013

salahkah Al Hallaj?


kenapa orang hebat dan zuhud seperti Al Hallaj harus tewas di tangan penguasa Islam? Bukankah Al Hallaj, adalah dia yang rindu akan perjumpaan dengan Tuhan sehingga ungkapan kerinduan itu tidak bisa dibenar salahkan? Sebagaimana orang yang jatuh cinta kemudian menulis puisi? Inilah sedikit pernyataan-Pernyataan Al-Hallaj :
Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.
Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.
Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.
Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.
Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.
Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.
Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.
SEJARAHNYA
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”
Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”
Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya ada tiga kelomp0k besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:
Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.
Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.
Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.
Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.
Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.
Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya: “Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.
Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “
Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.
Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”

Sabtu, 23 Februari 2013

pengarang kitab Al-Durr al-Nafis


SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI


Syeikh Muhammad nafis al-Banjari
Oleh: H. Ahmadi Isa

Siapa sebenarnya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari? Ternyata 
sampai saat ini riwayat hidupnya masih sulit untuk dilacak. Walaupun demikian, riwayat hidup Syeikh Muhammad Nafis ini tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, apabila diikuti teori yang diutarakan oleh Karel A, Steenbrink tentang cara untuk memperoleh gambaran dari sosok seorang tokoh yang pernah membuat karya tulis.
          Menurut Karel A, Steenbrink, usaha untuk menemukan gambaran dari seseorang tokoh yang pernah menulis karya tulis dapat ditelusuri melalui dua cara. Cara pertama melalui sumber intern, yaitu  mencari data dari karangannya sendiri, khususnya yang terdapat di dalam mukaddimah atau khutbah al-kitab dan penutup kitab. Cara keduayaitu mencari data dari cerita atau tulisan keturunannya atau orang yang datang kemudian.
          Setelah diikuti cara pertama, mencari data dari karya tulis Syeikh  Muhammad Nafis al-Banjari sendiri, maka ditemui pada penutup kitab yang ditulisnya, suatu keterangan yang menyatakan, bahwa nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein al-Banjari.
          Kemudian di halaman pertama, di halaman judul tertera gelar yang diberikan oleh pengagumnya, yaitu Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari.
          Walaupun Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diberikan gelar kehormatan yang tinggi di kalangan para pengagum sufi di zamannya, namun, gelar itu bukan atas keinginannya sendiri, karena dia sebagai seorang sufi tentu selalu menghindari gelar-gelar kehormatan dan hal-hal yang merupakan kebanggaan yang bersifat duniawi, karena hal itu bisa membuat sombong atau merasa tinggi diri. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari justru mengaku dirinya “seorang , faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah.
          Pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tentang dirinya ini, tentu bukan dalam arti kata sebenarnya, bahwa dia seorang fakir yang hina, dan seorang hamba Allah yang termiskin. Tetapi pernyataan seorang sufi yang selalu bersifat merendahkan dirinya, guna    menghindari perasaan riya’(pamer), takabbur (sombong),  dan ‘ujub (membanggakan diri). Hal ini sesuai dengan ajaran tasawuf, bahwa seseorang yang berusaha menjalani kehidupan kesufian (salik) akan gagal meraih kerelaan Allah apabila di dalam dirinya terdapat syirik khafi (syirik tersembunyi) Syirik tersembunyi itu antara lain dicontohkan oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari Nafis, seperti riya’ (pamer), sum’ah (memperdengarkan diri), ‘ujub(membanggakan diri), dan lain-lain.
          Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, dari kalangan keluarga Kerajaan Banjar. Tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Yang dapat diketahui secara pasti adalah saat dia menulis kitab karangannya yang berjudul Al-Durr al-Nafis, yaitu pada tahun 1200 H.
          Andaikata pada waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menulis kitab tersebut (1200 H./1785 M.), dia sudah berusia 50 tahun, maka dapat diperkirakan, bahwa dia dilahirkan pada tahun 1150 H./1735 M.
          Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, bahwa Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari hidup sezaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banajari (1710-1812M.) Jika riwayat ini benar, Maka Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini mengalami masa-masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Raja Banjar XIV (1707-1745 M.), dan Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1745-1778 M.), serta Sultan Tahmidillah, Raja Banjar XVI (1778-1808 M.).
          Berdasarkan pengakuan atau pernyataan Syeikh Muhammad Nafsi al-Banjari, di dalam kitabnya Al-Durr al-Nafis, bisa kita pahami bahwa:
1.     Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari mempunyai sifat suka merendahkan diri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Malah dia mengaku dirinya berdosa, kemudian mengharapkan ampunan dari Allah. Pengakuan seperti ini adalah wajar, karena dia seorang sufi, sebentar saja terlengah dari atau terabaikan dalam dirinya mengingat Allah, dia sudah merasa berdosa, apalagi kalau dia bersikap atau berbuat yang melebihi dari itu. Dari pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tersebut, tersirat pula makna, dia selalu berusaha menghindarkan dirinya dari perasaan takabbur(sombong), riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri),sum’ah (minta didengar atau diperhatikan) karya tulisnya.
2.     Dia bernama Muhammad Nafis, orang tuanya adalah Idris dan kakeknya adalah Husein;
3.     Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di Banjarmasin, berasal dari suku Banjar, Kalimantan Selatan;
4.     Dia pernah tinggal di Makkah. Pada waktu menulis karya tulisnya Al-Durr al-Nafis, dia berada di Makkah. Tidak diperoleh keterangan, kapan dia pergi ke Makkah, berapa lama dia belajar di sana, dan kapan dia kembali ke kampung halamannya atau ke Banjarmasin;
5.     Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang penganut maazhab Syafi’i dalam bidang fikih, menganut aliran Asy’ari dalam bidang iktikad, bidang ushuluddin/tauhid. Dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid. Dari sini diketahui bahwa dia adalah pengikut aliran Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama’ah).
6.     Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menganut berbagai tarikat, yaitu tarikat Qadiriah, tarikat yang mengikuti Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani, tarikat Sattariah, tarikat yang mengikuti aliran Abdullah al-Sattari, tarikat Naqsabandiah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Baha’uddin al-Naqsabandi, tarikat Khalwatiah yang disebut pula tarikat Anfasiah, dan tarikat Samaniyah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani.
Di dalam mengungkapkan tarikat yang dia pegang, Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari menggunakan simbolis, yaitutariqah (jalan), pakaian, makanan, dan minuman. Apakah yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kata-kata simbol yang dia pergunakan itu, kita tidak tahu pasti. Mungkin fungsi tarikat itu bagi dirinya bagaikan jalan, pakaian, makanan, dan minuman bagi tubuh dan jasmaninya; ataukah bermakna semua tarikat itu diamalkannya bagaikan dia selalu harus berjalan, berpakaian, makan dan minum setiap hari, merupakan keperluan yang sangat mendasar dalam kehidupannya; ataukah ada makna lain lagi dari kata-kata simbolis itu, wallahu a’lam.
          Semua tarikat yang dianut oleh  Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini adalah tergolong tarikat yang masyhur atau tarikat yang mu’tabarah, tarikat yang diakui keabsahannya oleh para sufi atau ahli tarikat.
          Tasawuf sepertinya adalah bidang studi yang diminati oleh
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Bidang ini menjadi spesialisasinya, dan kemudian  dia memang dikenal dalam bidang tasawuf ini. Kecenderungannya ke arah ilmu tasawuf ini nampaknya berasal dari pengalamannya sejak dia belajar di tanah airnya, yang sejak Islam masuk ke sana, sudah kenal pada tasawuf dan banyak yang meminatinya, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan keluarga bangsawan Banjar. Jadi besar kemungkinan dia sudah belajar ilmu tasawuf untuk tingkat permulaan sebelum dia berangkat belajar ke Makkah.
          Pada Waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari berada di Makkah, tepatnya pada tahun 1200 H., atas permintaan beberapa orang sahabatnya, dia menulis kitabnya yang diberi nama Al-Durr al-Nafis. Kitab tersebut dia tulis dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu) huruf Arab, dengan maksud supaya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik.
          Barangkali yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik itu adalah mereka yang berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu, termasuk negara Indonesia, dan sedang menuntut ilmu pengetahuan di Makkah ketika itu.
          Sehubungan dengan hal ini Snouck Hurgronje dalam penelitian yang dilakukannya pada akhir abad XIX M. mengatakan, bahwa satu-satunya lembaga yang berfungsi sebagai perguruan tinggi di Makkah adalah Masjid al-Haram. Di sanalah para ulama besar memberikan kuliah setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu, masing-masing ulama besar menghadapi sejumlah murid yang berkelompok membentuk satu lingkaran (halaqah) ; setiap penuntut ilmu yang datang ke Tanah Suci itu belum merasa puas atau tercapai cita-citanya kalau dia belum mampu mengikuti pelajaran di sana. Bahasa pengantar di dalam menyampaikan pelajaran digunakan bahasa Arab, sehingga mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab, terutama mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab yang berbahasa Melayu, termasuk Indonesia, kebanyakannya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu di bawah bimbingan para guru yang mengajar dalam bahasa masing-masing di luar masjidil Haram itu.
          Pada waktu itulah Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diminta oleh beberapa orang sahabatnya untuk menulis kitab tasawuf Al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu. Hal ini barangkali disebabkan karena mereka ingin mempelajari ilmu tasawuf, sedangkan mereka belum menguasai bahasa Arab dengan baik, mempelajari terlebih dahulu kitab yang berbahasa Melayu, sambil mempelajari bahasa Arab. Sehingga pada saatnya mereka sudah mampu berbahasa Arab dengan baik, akan mudah bagi mereka mempelajari berbagai kitab yang ditulis dengan bahasa Arab, karena mereka sudah merintisnya dengan cara mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Melayu.
          Dalam pengetahuan kesufian dan tarikat, Syeikh Muhammad  Nafis al-Banjari pernah berguru kepada beberapa orang ahli tasawuf dan tarikat,  antara lain ialah:
a.     Syeikh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarqawi al-Misri;
b.     Syeikh Siddiq Ibn ‘Umar Khan;
c.      Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani;
d.     Syeikh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Maghribi;
e.      Syeikh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari.
Nampaknya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini dalam bidang tasawuf dan tarikat seguru dengan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani,  ternyata dia juga pernah berguru tasawuf dan tarikat dengan guru yang sama dengan guru Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, yaitu Syeikh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Maghribi dan Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani, seorang wali qutub (wali Allah yang tertinggi) pada zaman itu.
          Dalam bidang tasawuf dan tarikat ini, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seguru pula dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga pernah tasawuf dan tarikat kepada Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani yang mengajar di Madinah di kala itu. Dari guru tasawuf dan terikatnya inilah, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh ijazah khalifah, yang membuatnya berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya tersebut.
          Karena ketiga tokoh ini, yaitu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani adalah seguru dalam bidang tasawuf dan tarikat, ini bisa berarti bahwa mereka adalah hidup sezaman dan sumber-sumber ajaran tasawuf dan tarikat mereka adalah sama pula.
          Kalau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat ijazah dari guru sufi dan terikatnya, dia diperkenankan mengajarkan ajaran tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya. Demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Dia diakui gurunya sudah menguasai ilmu tasawuf dan tarikat yang diajarkan kepadanya, dia pun diberi gelar oleh gurunya dengan gelar Syeikh Mursyid, yang merupakan pengakuan dari gurunya, bahwa dia boleh mengajarakan ilmu tasawuf dan tarikat kepada orang lain.
     Setelah beberapa lama menetap dan belajar di tanah suci,  Muhammad Nafis  pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin. Kapan ia pulang ke kampung halamannya, tidak ada riwayat yang memberitakan secara pasti. Yang diketahui secara pasti ialah bahwa ia menulis kitabnya Al-Durr al-Nafispada tahun 1200 H., dan pada saat itu dia berada di Makkah.
     Andaikata  Muhammad Nafis  masih bermukim di Makkah selama 10 tahun setelah dia menulis kitabnya tersebut (1200 H./1785 M.), kemudian dia pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin, maka dapat diperkirakan, bahwa dia pulang ke kampung halamannya pada tahun 1210 H./ 1795 M.
     Di daerah Banjarmasin, Muhammad Nafis dikenal sebagai  seorang juru dakwah yang sering melakukan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam upaya penyebaran ajaran Islam. Diduga dia banyak berdakwah di daerah Kelua (225 km dari Banjarmasin).   
     Menurut sebahagian tokoh masyarakat setempat,  Muhammad Nafis  pindah ke Kelua dari Martapura, daerah kelahirannya karena dia tidak senang kepada penjajah Belanda yang sudah mulai menguasai pusat kerajaan  Islam  Banjar  di kala  itu, sedangkan Kelua merupakan daerah yang strategis untuk menyebarkan ajaran Islam, karena tempat tersebut terletak di bahagian Utara kerajaan Islam Banjar, yaitu terletak di perbatasan antara Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Karenanya,  Muhammad Nafis  sebagai seorang juru dakwah memilih daerah tersebut.
     Pilihan  Muhammad Nafis  terhadap daerah ini ternyata sangat tepat. Buktinya pada abad XVIII dan abad XIX M. daerah Kelua menjadi pusat penyiaran Islam di Bahagian Utara daerah Kalimantan Selatan dan memiliki andil yang besar dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai saat gerakan perebutan kemerdekaan.
     Kapan  Muhammad Nafis wafat, tidak penulis temui keterangan tentang itu. Dia berbeda dengan dua tokoh lainnya yang sedaerah dan hidup sezaman dengan dia (XVIII M.), yakni  Abdul Hamid dan  Muhammad Arsyad . Kedua tokoh agama ini diketahui secara pasti di mana mereka dikebumikan. Abdul Hamid dikebumikan di Abulung, kampung Sungai Batang Martapura, dan  Muhammad Arsyad  dikebumikan di kampung Dalam Pagar Martapura. Sedangkan Muhammad Nafis diperselisihkan orang di mana dia dikebumikan. Ada yang menyatakan bahwa dia dikebumikan di daerah Kusan Kotabaru, dan yang  lain  mengatakan bahwa dia dikebumikan di desa Tungkaran Pleihari. Pendapat lain lagi mengatakan, bahwa dia dikebumikan di desa Pakulat Kelua Kabupaten Tabalong.  Yang jelas, Muhammad Nafis dikebumikan di daerah Kalimantan Selatan , karena semua tempat yang disebut sebagai makam  Muhammad Nafis  itu adalah terletak di daerah Kalimantan Selatan.

AL-HALLAJ


AL-HALLAJ
Oleh: H. Ahmadi Isa

            Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Al-Hallaj dilahirkan pada tahun 244 H./858 M di Tur, salah satu desa dekat Baida di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah SAW.
          Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan para sufi terkenal. Pada waktu dia berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ketiga Hijriah. Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-latihan berat, dia pergi ke Basrah dan dari sini pergi ke Bagdad. Dia pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873 M sampai tahun 879 M. Bersama-sama dengan guru sufi al-Tusturi, 'Amr al-Makki dan Junaid al-Bagdadi.
          Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang Syeikh ternama, katanya, yang tidak pernah dimintainya nasihat dan tuntunannya. Dikatakan pula bahwa dia telah tiga kali menunaikan ibadah haji.
          Dalam perjalanan dan pertemuannya dengan para sufi itu, timbullah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun dia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan para sufi yang lain.
          Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqih terkemuka, Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran al-Hallaj adalah sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dia di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
          Dari Bagdad dia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Di sinilah dia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H./903 M.  dia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H./921 M. diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung potongan-potongan tubuh itu di pintu gerbang kota Bagdad. Kemudian dibakar, dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
          Dalam riwayat lain dikatakan, pada saat dia di gantung, dia dipecut seratus kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal. Tapi sebelum dipancung, dia shalat dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya ditonton oleh umat Islam.
          Farid al-Din al-Farizi menceritakan proses hukuman mati al-Hallaj --- sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Gallab --- bahwa algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni oleh orang banyak yang datang dari berbagai penjuru negeri, dan diperintahkan kepada mereka untuk melempari dengan batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan dia dijebloskan ke hukuman mati itu, yaitu Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah:"Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat". Menurut Muhammad Gallab, kalimat tersebut merupakan pengulangan terhadap kalimat yang pernah diucapkan oleh al-Syibli.
          Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, dia pun menerimanya dengan tersenyum; bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah suci itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencungkil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo dan para pembantunya, dengan permohonan kepada Allah SWT:
"Mereka semua adalah hamba-Mu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Engkau singkapkan kepada mereka apa yang Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini".
          Tokoh sufi al-Hallaj ini mendapat simpati dari pengikut-pengikutnya; dan bahkan dia dikultuskan. Sebagian berpendapat, bahwa dia tidak mati sewaktu disalib, tetapi diangkat ke langit seperti al-Masih. Sementara yang lain mengatakan, bahwa dia dibangkitkan kembali setelah empat puluh hari. Kemudian diceritakan bahwa pada tahun dibunuhnya al-Hallaj, sungai Dajlah meluap sehingga mendorong pengikutnya untuk berpendapat bahwa luapan air
tersebut adalah karena abunya yang dibuang ke sungai itu.
          Diriwayatkan, bahwa sebelum sampai ke puncak penyiksaan, seluruh tubuhnya dicabik-cabik dengan cemeti. Darah keluar dengan deras dari tubuhnya yang telah berusia 53 tahun; tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya sebagai tanda kesakitan. Al-Hallaj dengan tabah dan sangat sabar menerima siksaan itu. Salah seorang muridnya yang ada di tengah-tengah  kerumunan orang banyak ketika itu tiba-tiba berteriak histeris, melihat wajahnya yang telah memerah oleh percikan darah. Al-Hallaj menoleh kepada muridnya itu, lalu berkata: "Bukan darah, tetapi bekas air wudhu".
          Orang makin bertambah banyak datang menyaksikan eksekusi itu, termasuk al-Junaid al-Bagdadi yang meninggal tidak lama setelah al-Hallaj dieksekusi. Dua orang muridnya yang kelihatan dalam kerumunan orang banyak itu adalah Abu Bakar al-Syibli dan Abu Hasan al-Wasit. Setelah al-Hallaj mendengar teriakan histeris Abu Bakar al-Sibli, lalu dipandangnya muridnya itu dalam-dalam, kemudian berkata:"Apakah kamu membawa sajadah?" Setelah Abu Bakar al-Syibli menjawab bahwa dia membawanya, al-Hallaj meminta kepadanya untuk dihamparkan sajadah tersebut; lalu dia salat dua rakaat. Pada rakaat pertama dibacanya surah al-Fatihah dan ayat yang artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah :[2] : 155). Pada rakaat kedua, setelah membaca surah al-Fatihah, dibacanya ayat yang artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : [3] : 85)
          Al-Hallaj adalah seorang yang alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, dia adalah seorang yang hafal kitab suci Alquran dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan hadis, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya ; dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
          Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibn Nadim, tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah:
1. Al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma' al-Kulliyyah.
2. Kitab Al-Usul wa al-Furu'
3. Kitab Sirr al-'Alam wa al-Mab'us
4. Kitab Al-'Adl wa al-Tauhid
5. Kitab 'Ilm al-Baqa' wa al-Fana'
6. Kitab Madh al-Nabi wa Masal al-A'la
7. Kitab Huwa-Huwa
8. Al-Tawasih
          Kitabnya yang bernama Al-Tawasih merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga --- kata al-Taftazani --- mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Di samping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
          Riwayat hidup al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis, seperti digambarkan di atas telah banyak mendapat perhatian ulama dan pengamat tasawuf.
          Inti sari ajaran tasawuf al-Hallaj --- yang kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang-kadang berupa nasrdengan kata-kata yang dalam ---, meliputi tiga persoalan pokok yaitu: (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan (c) Wahdah al-Adyan.

Hulul
          Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya, dia mengatakan bahwa hululnya al-Hallaj itu bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, 'Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham "kesatuan wujud" telah mulai nampak sejak hadir Abu Yazid al-Bustami dengan pahamittihadnya. Dan paham hulul al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Bustami itu. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid al-Bustami hancur, dan yang ada hanya diri Allah; sedangkan dalam hulul, diri al-Hallaj tidak hancur. Juga, dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud; sedang dalam paham hulul, ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
          Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, di samping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam (Al-Baqarah, [2], ayat 34) yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al-Baqarah : [2] : 34)
          Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri 'Isa AS. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.  Paham ini berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar bagi kaum sufi: "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya".
          Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya :
          Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya
          dengan lahut-Nya, yang cermerlang seiring bersama
          lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
          bagai si peminum dan si pemakan tampak sosok-Nya
          hingga semua makhluknya melihat-Nya
          bagaikan bertemunya dua kelopak mata.

          Dengan demikian, menurut paham tasawuf al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat keTuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
          Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusian melalui fana'. Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat keTuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair al-Hallaj mengungkapkan:
          Padu sudah roh-Mu dengan rohku jadi satu
          Bagai khamar dan air bening terpadu satu
          Dan jika sesuatu menyentuh-Mu, tersentuhlah aku
          Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.

          Nada-nada serupa juga dapat dilihat pada lirik syairnya sebagai berikut:
          Aku yang kucinta
          Dan yang kucinta aku pula
          Kami dua jiwa padu jadi satu
          Dan jika kau lihat aku
          Tampak pula Dia dalam pandanganmu
          Dan jika kau lihat Dia
          Kami, dalam pandanganmu tampak nyata.

          Lebih jelas lagi dapat dilihat dari bait-bait syairnya di bawah ini:
          Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
          bagaikan airmata menetes dari kelopakku
          Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
bagaikan roh yang hulul dalam tubuh jadi satu.

          Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsephulul. Yang dimaksud dengan hulul di situ, ialah penyatuan sifat keTuhanan dengan sifat kemanusiaan. Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakannya,hululnya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hululterkandung kefana'an total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia, menurutnya, "sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya".
          Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegaskan: "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka bedakanlah antara kami".
          Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: "Burang siapa mengira bahwa lahut (keTuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan), ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Zat maupun sifat-Nya, berbeda dari zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya". Dan katanya pula: "....Seperti halnya nasutku (kemanusiaanku) lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya; lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya".
          Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif. Terkadang hulul dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia negasikan (meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau unsur anthropomorphisme.
          Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana'. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk menghadapi para fuqaha (ahli fikih) pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj, berciri figuratif dan bukannya riil.

Hakikat Muhammad
          Haqiqah Muhammadiyah (hakikat Muhammad), atau Nur Muhammad, menurut al-Hallaj, merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaraan-Nyalah alam ini dijadikan. Al-Hallaj lah yang mula-mula sekali menyatakan bahwa kejadian alam ini pada mulanya adalah dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Di dalam kitabnya al-Tawasin, al-Hallaj menulis: Ta Sin. Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali. Sinar itupun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang rahasia. Yang Maha Benar memberinya nama "Ummi" untuk menghimpun citanya, "murni" karena nikmatnya kepadanya dan "makki" karena ketetapannya pada kedekatannya.
          Kemudian, katanya lagi: Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari cahayanya. Dalam cahaya-cahaya itu tidak ada satupun cahaya yang lebih cemerlang, gemerlap dan terdahulu dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan (Muhammad SAW). Cita-citanya lebih terdahulu ketimbang ketiadaan. Dan namanya lebih terdahulu ketimbang qalam, sebab ia telah ada sebelum makhluk-makhluk lain.
          Pendeknya, Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat (kenabian) segala nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwatnya, ataupun dirinya hanyalah sebagian daripada cahaya Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya.
          Menurut al-Hallaj, kejadian Nabi Muhammad SAW terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim danazali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seoran Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu: "Aku berasal dari cahaya Tuhan, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku". Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi (w.636 H.) dan 'Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili (w.811 H.) dalam ajaran tasawufnya tentang Insan al Kamil (Manusia Sempurna).
          Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al-Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonesme Plotinus, maka dalam tasawuf, teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al-Hallaj dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad atau haqiqah Muhammadiyahsebagai sumber dari segala yang maujud (ada).

Wahdah al-Adyan (Kasatuan Agama-Agama)
          Semua agama yang ada ini pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama berbagai macam, ada Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain, semuanya hanyalah perbedaan nama, namun hakikatnya sama saja.
          Semua agama adalah agama Allah, maksudnya ialah menuju kepada Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam suatu agama bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena, itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu.
          Paham Wahdah al-Adyan (kesatuan agama-agama) ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni, pendapat al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua agama, karena dalam kasus tersebut, sumber semua agama adalah satu. Menurut al-Hallaj, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
          Tentang hal ini, 'Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana diungkapkan oleh al-Taftazani, sebagai berikut: Suatu hari aku bertengkar dengan seorang Yahudi di pasar Bagdad. Diapun kumaki: hai anjing. Ketika itu al-Husain bin Mansur (al-Hallaj) lewat dan memandangku dengan wajah geram. Dan ditegurnya: jangan kau maki anjingmu! Dan diapun langsung pergi. setelah pertengkaran itu, akupun mencari al-Hallaj. Namun ketika kutemui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Kemudian katanya: Wahai sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Karena itu barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama dengan dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Pandangan seperti ini adalah pandangan aliran Qadariyah ; aliran Qadariyah adalah kaum Majusi (penganut ajaran Zoroaster). Ketahuilah! Agama-agama Yahudi, Islam, dan lain-lain adalah sebutan serta nama yang beraneka macam dan berbeda. Akan tetapi tujuan semua agama itu tidak berbeda.
     Dengan demikian, dapat dikatakan, sekiranya Nur Muhammad merupakan asal segala sesuatu, termasuk adanya hidayah dan agama, juga semua para nabi, sejak Nabi Adam hingga Nabi Isa AS, maka semua agama yang ada kembali kepada pokok (sumber) yang sama, yakni pancaran dari suatu cahaya (nur). Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar bentuk dan sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama untuk menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara monotheisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan), atau antara iman dan kufur. Dalam hubungan ini al-Hallaj menjelaskan, sebaimana dikutip oleh 'Abd al-Hakim Hassan : "Antara kufur dan iman hanya berbeda dari segi namanya saja, sedang dari segi hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya".
     Banyak di antara para ulama tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh al-Hallaj ini, Tetapi tidak sedikit pula ulama yang sependapat dan membelanya. Pembela-pembela al-Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya.
     Menurut Nicholson, yang mereka gunakan adalah : (1) Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi dia dihukum karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Dia membuka rahasia-rahasia tentang Tuhan dengan mengetengahkan segala yang dianggap sebagai misteri tertinggi, yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. (2) Al-Hallaj berbicara di bawah pengaruh ketidak sadaran dari akstasi. Dia merasa dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi, yang dalam kenyataannya dia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi, dan (3) Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara : Ana al-Haqq, bukanlah al-Hallaj pribadi, namun, Tuhan sendiri melalui lisan al-Hallaj.