SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI
Syeikh Muhammad nafis al-Banjari
Oleh: H. Ahmadi Isa
Siapa sebenarnya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari? Ternyata
sampai saat ini riwayat hidupnya masih sulit untuk dilacak. Walaupun demikian, riwayat hidup Syeikh Muhammad Nafis ini tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, apabila diikuti teori yang diutarakan oleh Karel A, Steenbrink tentang cara untuk memperoleh gambaran dari sosok seorang tokoh yang pernah membuat karya tulis.
Menurut Karel A, Steenbrink, usaha untuk menemukan gambaran dari seseorang tokoh yang pernah menulis karya tulis dapat ditelusuri melalui dua cara. Cara pertama melalui sumber intern, yaitu mencari data dari karangannya sendiri, khususnya yang terdapat di dalam mukaddimah atau khutbah al-kitab dan penutup kitab. Cara kedua, yaitu mencari data dari cerita atau tulisan keturunannya atau orang yang datang kemudian.
Setelah diikuti cara pertama, mencari data dari karya tulis Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari sendiri, maka ditemui pada penutup kitab yang ditulisnya, suatu keterangan yang menyatakan, bahwa nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein al-Banjari.
Kemudian di halaman pertama, di halaman judul tertera gelar yang diberikan oleh pengagumnya, yaitu Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari.
Walaupun Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diberikan gelar kehormatan yang tinggi di kalangan para pengagum sufi di zamannya, namun, gelar itu bukan atas keinginannya sendiri, karena dia sebagai seorang sufi tentu selalu menghindari gelar-gelar kehormatan dan hal-hal yang merupakan kebanggaan yang bersifat duniawi, karena hal itu bisa membuat sombong atau merasa tinggi diri. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari justru mengaku dirinya “seorang , faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah.
Pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tentang dirinya ini, tentu bukan dalam arti kata sebenarnya, bahwa dia seorang fakir yang hina, dan seorang hamba Allah yang termiskin. Tetapi pernyataan seorang sufi yang selalu bersifat merendahkan dirinya, guna menghindari perasaan riya’(pamer), takabbur (sombong), dan ‘ujub (membanggakan diri). Hal ini sesuai dengan ajaran tasawuf, bahwa seseorang yang berusaha menjalani kehidupan kesufian (salik) akan gagal meraih kerelaan Allah apabila di dalam dirinya terdapat syirik khafi (syirik tersembunyi) Syirik tersembunyi itu antara lain dicontohkan oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari Nafis, seperti riya’ (pamer), sum’ah (memperdengarkan diri), ‘ujub(membanggakan diri), dan lain-lain.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, dari kalangan keluarga Kerajaan Banjar. Tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Yang dapat diketahui secara pasti adalah saat dia menulis kitab karangannya yang berjudul Al-Durr al-Nafis, yaitu pada tahun 1200 H.
Andaikata pada waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menulis kitab tersebut (1200 H./1785 M.), dia sudah berusia 50 tahun, maka dapat diperkirakan, bahwa dia dilahirkan pada tahun 1150 H./1735 M.
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, bahwa Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari hidup sezaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banajari (1710-1812M.) Jika riwayat ini benar, Maka Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini mengalami masa-masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Raja Banjar XIV (1707-1745 M.), dan Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1745-1778 M.), serta Sultan Tahmidillah, Raja Banjar XVI (1778-1808 M.).
Berdasarkan pengakuan atau pernyataan Syeikh Muhammad Nafsi al-Banjari, di dalam kitabnya Al-Durr al-Nafis, bisa kita pahami bahwa:
1. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari mempunyai sifat suka merendahkan diri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Malah dia mengaku dirinya berdosa, kemudian mengharapkan ampunan dari Allah. Pengakuan seperti ini adalah wajar, karena dia seorang sufi, sebentar saja terlengah dari atau terabaikan dalam dirinya mengingat Allah, dia sudah merasa berdosa, apalagi kalau dia bersikap atau berbuat yang melebihi dari itu. Dari pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tersebut, tersirat pula makna, dia selalu berusaha menghindarkan dirinya dari perasaan takabbur(sombong), riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri),sum’ah (minta didengar atau diperhatikan) karya tulisnya.
2. Dia bernama Muhammad Nafis, orang tuanya adalah Idris dan kakeknya adalah Husein;
3. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di Banjarmasin, berasal dari suku Banjar, Kalimantan Selatan;
4. Dia pernah tinggal di Makkah. Pada waktu menulis karya tulisnya Al-Durr al-Nafis, dia berada di Makkah. Tidak diperoleh keterangan, kapan dia pergi ke Makkah, berapa lama dia belajar di sana, dan kapan dia kembali ke kampung halamannya atau ke Banjarmasin;
5. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang penganut maazhab Syafi’i dalam bidang fikih, menganut aliran Asy’ari dalam bidang iktikad, bidang ushuluddin/tauhid. Dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid. Dari sini diketahui bahwa dia adalah pengikut aliran Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama’ah).
6. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menganut berbagai tarikat, yaitu tarikat Qadiriah, tarikat yang mengikuti Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani, tarikat Sattariah, tarikat yang mengikuti aliran Abdullah al-Sattari, tarikat Naqsabandiah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Baha’uddin al-Naqsabandi, tarikat Khalwatiah yang disebut pula tarikat Anfasiah, dan tarikat Samaniyah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani.
Di dalam mengungkapkan tarikat yang dia pegang, Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari menggunakan simbolis, yaitutariqah (jalan), pakaian, makanan, dan minuman. Apakah yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kata-kata simbol yang dia pergunakan itu, kita tidak tahu pasti. Mungkin fungsi tarikat itu bagi dirinya bagaikan jalan, pakaian, makanan, dan minuman bagi tubuh dan jasmaninya; ataukah bermakna semua tarikat itu diamalkannya bagaikan dia selalu harus berjalan, berpakaian, makan dan minum setiap hari, merupakan keperluan yang sangat mendasar dalam kehidupannya; ataukah ada makna lain lagi dari kata-kata simbolis itu, wallahu a’lam.
Semua tarikat yang dianut oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini adalah tergolong tarikat yang masyhur atau tarikat yang mu’tabarah, tarikat yang diakui keabsahannya oleh para sufi atau ahli tarikat.
Tasawuf sepertinya adalah bidang studi yang diminati oleh
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Bidang ini menjadi spesialisasinya, dan kemudian dia memang dikenal dalam bidang tasawuf ini. Kecenderungannya ke arah ilmu tasawuf ini nampaknya berasal dari pengalamannya sejak dia belajar di tanah airnya, yang sejak Islam masuk ke sana, sudah kenal pada tasawuf dan banyak yang meminatinya, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan keluarga bangsawan Banjar. Jadi besar kemungkinan dia sudah belajar ilmu tasawuf untuk tingkat permulaan sebelum dia berangkat belajar ke Makkah.
Pada Waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari berada di Makkah, tepatnya pada tahun 1200 H., atas permintaan beberapa orang sahabatnya, dia menulis kitabnya yang diberi nama Al-Durr al-Nafis. Kitab tersebut dia tulis dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu) huruf Arab, dengan maksud supaya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik.
Barangkali yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik itu adalah mereka yang berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu, termasuk negara Indonesia, dan sedang menuntut ilmu pengetahuan di Makkah ketika itu.
Sehubungan dengan hal ini Snouck Hurgronje dalam penelitian yang dilakukannya pada akhir abad XIX M. mengatakan, bahwa satu-satunya lembaga yang berfungsi sebagai perguruan tinggi di Makkah adalah Masjid al-Haram. Di sanalah para ulama besar memberikan kuliah setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu, masing-masing ulama besar menghadapi sejumlah murid yang berkelompok membentuk satu lingkaran (halaqah) ; setiap penuntut ilmu yang datang ke Tanah Suci itu belum merasa puas atau tercapai cita-citanya kalau dia belum mampu mengikuti pelajaran di sana. Bahasa pengantar di dalam menyampaikan pelajaran digunakan bahasa Arab, sehingga mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab, terutama mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab yang berbahasa Melayu, termasuk Indonesia, kebanyakannya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu di bawah bimbingan para guru yang mengajar dalam bahasa masing-masing di luar masjidil Haram itu.
Pada waktu itulah Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diminta oleh beberapa orang sahabatnya untuk menulis kitab tasawuf Al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu. Hal ini barangkali disebabkan karena mereka ingin mempelajari ilmu tasawuf, sedangkan mereka belum menguasai bahasa Arab dengan baik, mempelajari terlebih dahulu kitab yang berbahasa Melayu, sambil mempelajari bahasa Arab. Sehingga pada saatnya mereka sudah mampu berbahasa Arab dengan baik, akan mudah bagi mereka mempelajari berbagai kitab yang ditulis dengan bahasa Arab, karena mereka sudah merintisnya dengan cara mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Melayu.
Dalam pengetahuan kesufian dan tarikat, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari pernah berguru kepada beberapa orang ahli tasawuf dan tarikat, antara lain ialah:
a. Syeikh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarqawi al-Misri;
b. Syeikh Siddiq Ibn ‘Umar Khan;
c. Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani;
d. Syeikh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Maghribi;
e. Syeikh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari.
Nampaknya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini dalam bidang tasawuf dan tarikat seguru dengan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani, ternyata dia juga pernah berguru tasawuf dan tarikat dengan guru yang sama dengan guru Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, yaitu Syeikh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Maghribi dan Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani, seorang wali qutub (wali Allah yang tertinggi) pada zaman itu.
Dalam bidang tasawuf dan tarikat ini, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seguru pula dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga pernah tasawuf dan tarikat kepada Syeikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim Saman al-Madani yang mengajar di Madinah di kala itu. Dari guru tasawuf dan terikatnya inilah, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh ijazah khalifah, yang membuatnya berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya tersebut.
Karena ketiga tokoh ini, yaitu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani adalah seguru dalam bidang tasawuf dan tarikat, ini bisa berarti bahwa mereka adalah hidup sezaman dan sumber-sumber ajaran tasawuf dan tarikat mereka adalah sama pula.
Kalau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat ijazah dari guru sufi dan terikatnya, dia diperkenankan mengajarkan ajaran tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya. Demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Dia diakui gurunya sudah menguasai ilmu tasawuf dan tarikat yang diajarkan kepadanya, dia pun diberi gelar oleh gurunya dengan gelar Syeikh Mursyid, yang merupakan pengakuan dari gurunya, bahwa dia boleh mengajarakan ilmu tasawuf dan tarikat kepada orang lain.
Setelah beberapa lama menetap dan belajar di tanah suci, Muhammad Nafis pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin. Kapan ia pulang ke kampung halamannya, tidak ada riwayat yang memberitakan secara pasti. Yang diketahui secara pasti ialah bahwa ia menulis kitabnya Al-Durr al-Nafispada tahun 1200 H., dan pada saat itu dia berada di Makkah.
Andaikata Muhammad Nafis masih bermukim di Makkah selama 10 tahun setelah dia menulis kitabnya tersebut (1200 H./1785 M.), kemudian dia pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin, maka dapat diperkirakan, bahwa dia pulang ke kampung halamannya pada tahun 1210 H./ 1795 M.
Di daerah Banjarmasin, Muhammad Nafis dikenal sebagai seorang juru dakwah yang sering melakukan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam upaya penyebaran ajaran Islam. Diduga dia banyak berdakwah di daerah Kelua (225 km dari Banjarmasin).
Menurut sebahagian tokoh masyarakat setempat, Muhammad Nafis pindah ke Kelua dari Martapura, daerah kelahirannya karena dia tidak senang kepada penjajah Belanda yang sudah mulai menguasai pusat kerajaan Islam Banjar di kala itu, sedangkan Kelua merupakan daerah yang strategis untuk menyebarkan ajaran Islam, karena tempat tersebut terletak di bahagian Utara kerajaan Islam Banjar, yaitu terletak di perbatasan antara Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Karenanya, Muhammad Nafis sebagai seorang juru dakwah memilih daerah tersebut.
Pilihan Muhammad Nafis terhadap daerah ini ternyata sangat tepat. Buktinya pada abad XVIII dan abad XIX M. daerah Kelua menjadi pusat penyiaran Islam di Bahagian Utara daerah Kalimantan Selatan dan memiliki andil yang besar dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai saat gerakan perebutan kemerdekaan.
Kapan Muhammad Nafis wafat, tidak penulis temui keterangan tentang itu. Dia berbeda dengan dua tokoh lainnya yang sedaerah dan hidup sezaman dengan dia (XVIII M.), yakni Abdul Hamid dan Muhammad Arsyad . Kedua tokoh agama ini diketahui secara pasti di mana mereka dikebumikan. Abdul Hamid dikebumikan di Abulung, kampung Sungai Batang Martapura, dan Muhammad Arsyad dikebumikan di kampung Dalam Pagar Martapura. Sedangkan Muhammad Nafis diperselisihkan orang di mana dia dikebumikan. Ada yang menyatakan bahwa dia dikebumikan di daerah Kusan Kotabaru, dan yang lain mengatakan bahwa dia dikebumikan di desa Tungkaran Pleihari. Pendapat lain lagi mengatakan, bahwa dia dikebumikan di desa Pakulat Kelua Kabupaten Tabalong. Yang jelas, Muhammad Nafis dikebumikan di daerah Kalimantan Selatan , karena semua tempat yang disebut sebagai makam Muhammad Nafis itu adalah terletak di daerah Kalimantan Selatan.
ada bukunya gk
BalasHapusAda
BalasHapus